Selasa, 10 Juni 2008

Problematika Teori Kewarganegaraan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah kewarganegaraan tentu saja adalah bahasan yang sangat luas, karena selalu berkembang dari hari ke hari, dan begitu banyak teori yang menggambarkan dan mereflesikan berbagai krisis dan masalah kewarganegaraan.
Perlu ditekankan terlebih dulu disini bahwa penulis buku theorizing citizenship (Ronald Beiner) menulis buku ini dari sudut pandang dirinya sebagai seorang warga Kanada, karena menurut penulis warga Kanada memiliki alasan bagus untuk merasa khawatir tentang kewarganegaraan modern. Banyak hal yang menempatkan masalah kewarganegaraan di pusat kajian teoretis. Sejauh masyarakat Amerika Utara terkait, kita terkait secara sosial dan ekonomi dengan kapitalisme dan kita terkait ecara intelektual dengan liberalisme. Liberalisme, adalah sebuah filosofi yang terkait dengan mempertahankan harga diri dan hak individu, yang dipahami sebagai instantiasi kemanusiaan universal. Jadi sekarang kita bisa melihat bahwa komitmen masyarakat kita yang liberal dan kurang lebih kapitalis cenderung menganggap makna kewarganegaraan sangat bermasalah, alih-alih membantu menemukan apa yang membingungkan kita.
Penulis ingin mengarahkan perhatian pada beberapa tantangan yang signifikan terhadap pemikiran kewarganegaraan dalam dunia modern, dimulai dengan rangkuman Jürgen Habermas tentang tiga perkembangan kontemporer yang menganggap hubungan antara identitas nasional dengan kewarganegaraan sangat problematis:
1. Masalah masa depan negara kesatuan telah menjadi topik saat kebangkitan unifikasi Jerman, pembebasan negara-negara Eropa Tengah bagian Timur dan konflik nasional yang pecah di seluruh Eropa Tengah.
2. Fakta bahwa negara-negara dalam Komunitas Eropa perlahan-lahan berkembang bersama.
3. Arus besar imigrasi dari daerah-daerah miskin di Timur dan Selatan yang akan dikonfrontasi oleh Eropa pada tahun-tahun selanjutnya menjadikan masalah pencari perlindungan sebagai masalah yang signifikan dan mendesak.
Krisis politik ini menjadi pusat pemahaman kenapa masalah kewarganegaraan jadi penting saat ini. Pergeseran identitas yang didorong oleh migrasi besar-besaran dan integrasi ekonomi, dilengkapi dengan reaksi defensif yang menambah rumitnya identitas ini adalah salah satu dilema politik yang memunculkan satu pertanyaan baru tentang apa yang mengikat warga negara bersama-sama membentuk komunitas politik.
Terkait dengan masalah identitas nasional, masalah mendasar yang ada adalah bahwa kewarga negaraan nasional terus-menerus diperburuk bukan hanya oleh tekanan yang mengglobal, namun juga oleh tekanan lokal. Nasionalisme biasanya adalah reaksi terhadap perasaan yang mengancam identitas, dan tidak ada yang lebih mengancam dalam hal ini selain integrasi global. Inilah yang penulis sebut dialektik globalisasi dan lokalisme. Yang penulis maksud dengan hubungan “dialektik” adalah bahwa keduanya adalah kecenderungan yang tidak terpisahkan; keduanya adalah dua hal yang berlawanan namun saling mencerminkan satu sama lain, dua sisi koin.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Bagaimana tantangan yang berhubungan dengan pemikiran kewarganegaraan?
2. Bagaimana sudut pandang teoritis kewarganegaraan ?

C. Prosedur Pemecahan Masalah
Untuk menjawab semua permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, penulis menggunakan metode literature yaitu dengan mengkaji buku Theorizing Chitizenship yang di tulis oleh Ronald Beiner khususnya mengkaji bagian introduction buku itu yaitu mengenai “Why Citizenship Constitutes a Theoritical problem in the last Decade of the twentieth Century.” Selain itu penulis juga menggunakan berbagai literature yang menunjang untuk menjawab permasalahan yang ada dalam makalah ini.

D. Sistematika Uraian
Untuk lebih memudahkan dalam memahami makalah ini penulis membagi sistematila penulisan sebagai berikut :
ABSTRAKSI. Berisi gambaran umum dari isi makalah yang disajikan
PENDAHULUAN. Bagian ini menguraikan masalah yang akan dibahas yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, prosedur pemecahan masalah, dan sistematika uraian.
ISI. Bagian ini memuat uraian tentang hasil kajian penulis dalam mengeksplorasi jawaban terhadap masalah yang diajukan, yang dilengkapi dengan data pendukung serta argument-argumen yang berlandasakan pandangan para ahli tentang teori yang relevan.
PENUTUP. Bagian ini merupakan kesimpulan yaitu makna yang diberikan penulis terhadap hasil uraian yang telah dibuat pada bagian isi, dengan mengacu kepada permasalahan yang diajukan dalam pendahuluan.













BAB II
ISI


A. Tantangan Yang Berhubungan Dengan Pemikiran Kewarganegaraan
Sekarang mari kita berkonsentrasi pada tiga tantangan (yang saling terkait) terhadap pemikiran tentang kewarganegaraan:
1. Masyarakat Sipil.
Ide dasarnya disini adalah keterlibatan aktif dalam masyarakat sipil yang terdiri dari serangkaian asosiasi sukarela yang terpisah dari (atau berlawanan dengan) cakupan negara, merepresentasikan bentuk superior kewarganegaraan dibandingkan dengan kewarganegaraan yang memburuk dalam negara paternalistik yang kuat. Negara modern bukanlah kendaraan kewarganegaraan, melainkan batasan kewarganegaraan yang demokratis murni. Maka, kewarganegaraan harus dilokalkan. Michael Walzer menyatakan:
Ini adalah paradoks argumen masyarakat sipil. Kewarganegaraan adalah salah satu dari banyak peran yang dimainkan oleh anggota masyarakat, tapi negara itu sendiri tidak seperti semua asosiasi lain. Negara membingkai masyarakat sipil dan memenuhi ruang didalamnya.

2. Pluralisme.
Versi yang lebih radikal dari argumen ini dibuat oleh para penyusun teori seperti iris Marion Young dalam nama kelompok identitas, yang mengeluarkan slogan-slogan populer seperti “politik perbedaan.” Will Kymlicka mengemukakan kebingungan utama yang menjadi akhir perjalanan kita jika kita mengikuti pemikiran ini sampai ke batasnya:
Di satu sisi, kebanyakan kelompok ini tetap berpendapat bahwa masyarakat secara resmi mengakui perbedaan mereka, dan memberikan berbagai bentuk dukungan institusional dan pengakuan perbedaan di antara mereka. Di sisi lain, jika masyarakat menerima dan terus mendorong lebih banyak lagi perbedaan, untuk mendukung inklusi kultural, tampaknya warga negara akan semakin sedikit kesamaan antara satu dan yang lainnya. Mungkin akan ada kerusakan budaya yang biasa.
Visi kaum pluralis memberikan ancaman pada pemikiran tentang kewarganegaraan karena kekelompokan bisa juga disimpulkan sebagai sejumlah usaha menjadikan orang-orang “kampungan”; maksudnya, kecenderungan yang ada pada tiap kelompok dalam masyarakat untuk bertahan di belakang garis batas kelompoknya sendiri. Maka, kewarganegaraan akan direduksi menjadi sebuah perkumpulan kelompok-kelompok “kampung” subnasional.
Untuk memperjelas rentang pilihan teoretis, penulis ingin membedakan tiga kemungkinan dasar:
(1) Pilihan pertama adalah “nasionalisme”. Inti pendapat yang diajukan oleh Scruton adalah bahwa hal yang mempertahankan negara liberal bukanlah keanggotaan politis di negara tersebut, tapi loyalitas sosial dan kerjasama yang menentukan kebangsaan, dan dengan demikian kewarganegaraan sebagai sebuah konsep politik bersifat merusak terhadap kebangsaan sebagai konsep sosial.
(2) Bhikhu Parekh menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melayani keberagaman identitas sub kelompok, bukan sebaliknya. Dia bahkan menyatakan bahwa komunitas imigran diInggris terikat bukan oleh kewajiban untuk menyesuaikan diri dengan budaya yang lebih besar yang ada di daerah itu. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat Inggris bukan hanya mengakui tapi juga merekrut mereka secara positif untuk membantu membangun ekonomi pasca perang negara tersebut.
(3) Penulis merangkum pilihan nasionalis Scruton dan pilihan multikultural Parekh untuk menyusun plihan ketiga. Di konsep ketiga ini, ada persyaratan bahwa semua warga negara harus menyesuaikan diri dengan budaya yang lebih besar, tapi buadaya ini adalah budaya sipil-nasional, bukan budaya etnis-nasional. Konsep ini tertuang dengan baik dalam “patriotisme konstitusional” Jürgen Habermas.

3. Post-modernisme
Tantangan teoretis dasar disini adalah bahwa universalisme filosofis yang kita kenal dari tradisi kanon negara Barat melibatkan ‘fungsi hegemoni’, yaitu untuk menekan berbagai identitas partikular. Universalisme semata-mata hanya selubung untuk menutupi partikularisme imperialistiks.
Post-modernisme sebenarnya adalah penggabungan pernyataan teoretis klaim lokalisme dan pluralisme yang dibahas diatas. Maka kita pasti merasa terganggu oleh klaim yang dikeluarkan oleh teori sosial post-modernisme yang menyatakan bahwa semua kenyataan sosial bisa disusun ulang sebagai kenyataan lokal, plural, terfragmen, berepisode, dan infinit. Namun, masih tetap ada hal yang mengkhawatirkan disini terkait dengan kemungkinan mempertahankan pemikiran tentang kewarganegaraan. Kekhawatiran tersebut diutarakan dengan baik dalam tanggapan John Pocock:
Sebuah komunitas yang menuntut seluruh kesetiaan seseorang mungkin menutup kebebasan seseorang untuk memilih akan jadi orang seperti apa. Komunitas ini pasti menyangkal kebebasan seseorang untuk membuat komitmen akhir yang menentukan identitas orang tersebut. Hal ini akan agak berbeda jika kekuatan negara otonom atau quasi-otonom di dunia ini bersatu untuk memberitahu seseorang bahwa tidak ada pilihan identitas, tidak ada komitmen kesetiaan, tidak ada hak untuk menentukan kewarganegaraan yang dimiliki oleh orang tersebut.
Namun saat ini, kita menemukan makin banyak perusak yang cenderung berhasil dalam memberitahu warganegara dimana harus bergerak.
Motivasi utama dibalik politik perbedaan adalah untuk mengamankan inklusi terhadap kelompok yang tidak tergabung dan suara-suara yang termarginalkan. Tapi inklusi apa? Jika kewarganegaraan tidak melibatkan universalitas seperti itu, bagaimana mungkin ada komunitas warga negara yang bisa dimasuki oleh orang-orang yang termarginalkan? Disini, post-modernisme tidak memberikan penjelasan pada kita.
Disisi lain, harus jelas bahwa semakin seorang warga negara terfiksasi pada perbedaan kultural dalam komunitas politik, semakin sulit pula mempertahankan pengalaman sebagai seorang warga negara biasa. Dengan kata lain, hal yang dimiliki bersama oleh warga negara pasti memiliki kekuatan untuk membentuk identitas yang di satu titik melampaui, atau lebih penting dari identitas lokal kita. Kewarganegaraan yang dimiliki bersama membawa egaliterianisme, dan egaliterianisme ini diperburuk oleh terlalu banyak penekanan pada identitas partikularistik sejauh yang dimungkinkan oleh konsep egaliterian dalam kelompok budaya yang beragam.
Kelompok-kelompok penyusun teori-teori feminisme tertentu menyajikan penampilan sejenis ‘nasionalisme gender’; yaitu kesamaan partikularisme sempit yang ditemui oleh seseorang dalam bidang pembagian etnis. Sejauh ini tidak ada kaum feminis yang penulis ketahui yang mengajukan kesamaan gender terhadap pemebrsihan etnis, hal ini dilakukan atas nama universalisme yang lebih tinggi yang harusnya menjadi hasil utama perjuangan satu kelas melawan kelas yang lain.

B. Sudut Pandang Teoritis Kewarganegaraan
Masalah kita saat ini adalah kita tampaknya terkurung dalam satu pilihan diantara dua alternatif yang sama-sama ekslusif, yang tidak satupun memuaskan bagi penulis. Disatu sisi, ada berbagai jenis universalisme yang menghargai nilai moral seseorang, disisi lain, ada kekuatan eksklusifitas dan partikularisme yang hanya mengakui bentuk-bentuk identitas kelompok yang membedakan sekelompok individu dengan kelompok lain, dua visi yang bersaing universalisme liberal dan partikularisme antiliberal
Pada intinya dilema ini, ada “teka-teki universalisme/partikulerisme.” Memang sudah jelas bahwa kekuatan akar partikularistik dan keterbukaan universalistik ada secara filosofis atau praktis. Kita tampaknya seoah-olah selalu tertarik pada satu ekstrim yang tidak memuaskan. Sintesis elusif dari kosmopilitanisme liberal dan partikularisme illiberal adalah apa yang penulis sebut “kewarganegaraan.”
Untuk membantu memperjelas alternatif-alternatif yang ada, Ronald Beiner membedakan tiga sudut pandang teoretis:
1. Liberalisme
Menekankan pada individu, dan kapasitas individu untuk mengubah identitas kelompok atau kolektif, untuk menghancurkan belenggu identitas pasti (satus sosial, hirarki, peran tradisional, dsb), untuk menentukan dan menentukan ulang tujuan seseorang, dan seterusnya.
2. Komunitarian:
Menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal.
3. Republikan
Menekankan pada ikatan “sipil”. Pertanyaannya tentu saja adalah apakah benar-benar ada kemungkinan ketiga yang koheren secara teoretis dan bisa digunakan secara praktis. Jürgen Habermas mengemas pendapat ini dalam pemikirannya tentang “patriotisme konstitusional”, sebuah pemikiran tentang kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk tidak emnjadi individualis ataupun komunitarian, tiak liberal dan tidak juga anti-liberal.
Mari kita sekarang merangkum analisis kita dengan menspesifikasi tiga model komunitas politik:
1. Komunitas politik untuk membantu identitas individu (liberalisme)
2. Komunitas politik untuk membantu identitas komunal (nasionalisme)
3. Komunitas politik sebagai ekspresi identitas “sipil” (?)
Pandangan dasar Ronald Beiner adalah bahwa liberalisme benar dalam diagnosisnya tentang apa yang salah dengan nasionalisme, dan nasionalisme benar dalam diagnosisnya tentang apa yang salah dengan liberalisme. Maka, kita dibiarkan terkatung-katung dengan pandangan komunitas politik sampai kita bisa memunculkan kemungkinan ketiga yang tidak liberal serta tidak nasionalis, dan yang kadang-kadang terlepas dari pendapat kaum liberal melawan nasionalisme dan pendapat kaum nasionalis melawan kaum liberal.
Michael Walzer harus mengerahkan seluruh energinya sebagai penyusun teori untuk menunjukkan bahwa klaim moral dan intelektual kaum kosmopolitan yang tidak berakar adalah klaim yang tidak sah.
Ronald Beiner setuju dengan pendapat Joseph Caren bahwa ada sesuatu yang sangat logis tentang liberalisme yang membawa seseorang menuju kosmopolitanisme. Jika seseorang mengikutinya sampai akhir, orang itu akan tiba di titik dimana semua batasan nasional (sipil) jadi tak berarti: yaitu, dimana kewarga negaraan itu sendiri tak berarti. Pasti ada alternatif ketiga selain liberalisme dan nasionalisme, yang merepresentasikan dua ekstrim yang bertentangan dalam hubungan antara identitas individu dengan identitas kelompok.
Ada sejumlah penyusun teori yang konsepnya penulis setujui, diantaranya Hannah Arendt, Benjamin Barber, Skinner Pocock, Charles Taylor. Orang-orang ini memiliki antusiasme untuk menemukan alternatif ketiga yang mungkin akan jadi penyelesaian hal ini.
Menyusun teori kewarganegaraan mengharuskan seseorang mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan keanggotaan masyarakat, identitas nasional, kesetiaan sipil, dan semua kesamaan sentimen dan kewajiban yang membuat seseorang merasa bahwa dia termasuk dalam komunitas politik ini dan tidak termasuk dalam komunitas politik itu.

















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan atas keseluruhan pemaparan dan pembahasan pada Bab I dan II, maka penyusun dapat menarik kesimpulan antara lain sebagai berikut :
1. Ada tiga tantangan (yang saling terkait) terhadap pemikiran tentang kewarganegaraan yaitu : (a) Masyarakat Sipil, ide dasarnya disini adalah keterlibatan aktif dalam masyarakat sipil yang terdiri dari serangkaian asosiasi sukarela yang terpisah dari (atau berlawanan dengan) cakupan negara, merepresentasikan bentuk superior kewarganegaraan dibandingkan dengan kewarganegaraan yang memburuk dalam negara paternalistik yang kuat. Ini adalah paradoks argumen masyarakat sipil. Kewarganegaraan adalah salah satu dari banyak peran yang dimainkan oleh anggota masyarakat, tapi negara itu sendiri tidak seperti semua asosiasi lain. Negara membingkai masyarakat sipil dan memenuhi ruang didalamnya. (b) Pluralisme, versi yang lebih radikal dari argumen ini dibuat oleh para penyusun teori seperti iris Marion Young dalam nama kelompok identitas, yang mengeluarkan slogan-slogan populer seperti “politik perbedaan. (c) Post-modernisme, tantangan teoretis dasar disini adalah bahwa universalisme filosofis yang kita kenal dari tradisi kanon negara barat melibatkan ‘fungsi hegemoni’, yaitu untuk menekan berbagai identitas partikular. Universalisme semata-mata hanya selubung untuk menutupi partikularisme imperialistiks.
2. Sudut pandang teoritis kewarganegaraan menurut Ronald Beiner yaitu bahwa teoriti kewarganegaraan terbagi atas tiga yang meliputi: (a) liberalisme; yang menekankan pada individu, dan kapasitas individu untuk mengubah identitas kelompok atau kolektif, untuk menghancurkan belenggu identitas pasti (satus sosial, hirarki, peran tradisional, dsb), untuk menentukan dan menentukan ulang tujuan seseorang, dan seterusnya. (b) komunitarian: yang menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal. (c) republikan: yang menekankan pada ikatan “sipil”. Pertanyaannya tentu saja adalah apakah benar-benar ada kemungkinan ketiga yang koheren secara teoretis dan bisa digunakan secara praktis. Jürgen Habermas mengemas pendapat ini dalam pemikirannya tentang “patriotisme konstitusional”, sebuah pemikiran tentang kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk tidak emnjadi individualis ataupun komunitarian, tiak liberal dan tidak juga anti-liberal.























DAFTAR PUSTAKA


Beiner, Ronald. (1980). Theorizing Citizenship. State University Of New York

Cholisin, dkk. (2007). Ilmu Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Janoski, T. (1998). Citizenship and Civil Society: a Framework of Rights and Obligations in Liberal, Traditional and Social Democratic Regimes. Cambridge: Cambridge University Press

Wahab, Abdul Azis. 2001. Implementasi dan Arah Perkembangan Pendidikaan Kewarganegaraan (Civic Education) di Indonesia. Bandung: Civicus Jurnal Ilmu Politik, Hukum dan PKn Edisi 1.

Supardan, Dadang. 2002. Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya : Studi Hak Azasi Manusia Dalam Perspektif Global. Bandung: JPIS Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Edisi Juli-Desember.

Sapriya-Jhon Cogan. 2002. Membangun Civil Society Tugas Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Civicus Edisi Juni.

Jumat, 30 Mei 2008

TEKNIK PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN

TEKNIK PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN
DEFINISI
Menurut Kamus Dewan (edisi ketiga), teknik adalah kaedah mencipta sesuatu hasil seni seperti muzik, karang-mengarang dan sebagainya.
Menurut Edward M. Anthony mendefinisikan teknik adalah satu muslihat atau strategi atau taktik yang digunakan oleh guru yang mencapai hasl segera yang maksimum pada waktu mengajar sesuatu bahagian bahasa tertentu.
Mengikut Kamaruddin Hj. Husin & Siti Hajar Hj. Abdul Aziz dalam bukunya Pengajian Melayu III : Komunikasi Bahasa, teknik boleh didefinisikan sebagai pengendalian suatu organisasi yang benar-benar berlaku di dalam bilik darjah di mana ia digunakan untuk mencapai sesuatu objektif.
Teknik merupakan suatu alat yang digunakan oleh guru bahasa bagi menyampaikan bahan-bahan pengajaran yang telah dipilih untuk pelajar-pelajarnya. Teknik yang dipilih haruslah sejajar dengan kaedah yang digunakan dan seirama dengan pendekatan yang dianuti.

Teknik-teknik Pengajaran Bahasa
Teknik main peranan
Teknik permainan bahasa
Teknik latih tubi
Teknik bercerita
Teknik inkuiri
Teknik perbahasan
Teknik kuiz
Teknik sumbangsaran
Teknik soal jawab
Teknik simulasi
Teknik drama
Teknik perbincangan
Teknik forum
Teknik dialog

TUJUAN TEKNIK
Menarik Minat murid
Mengekalkan perhatian
Membangkitkan ras ingin tahu

TEKNIK LATIH - TUBI
Teknik latih tubu adalah aktiviti pengulangan fakta-fakta atau kecekapan yang dipelajari.
Tujuannya untuk mencapai taraf penguasaan kemahiran disampimg menjamin kekekalannya.
Ia sesuai digunakan untuk pengajaran Bahasa Melayu
Boleh digunakan untuk mencapai sesuatu kemahiran seperti kemahiran menyebut perkataan, ayat-ayat atau mengingat fakta-fakta penting.
Melalui teknik ini pelajar akan mengalami proses mendengar, melihat, memikirkan maksud perkataan-perkataan serta tugasnya dalam situasi yang penggunaan perkataan-perkataan itu.
Berasakan pengajaran bahasa dengar dan sebut (audiolingual) yang biasanya digunakan dalam pengajaran bahasa kedua.
Mengikut teknik ini, perhatian akan diberikan kepada 5 aspek kebolehan menggunakan bahasa iaitu :
Sebutan (accent)
-menyebut patah-patah perkataan atau sukukata dengan betul termasuk intonasi yang membawa makna dalam sesuatu situasi.
Tatabahasa (grammer)
-penggunaan bahasa yang tepat mengikut hukum-hukum bahasa daripada semua aspek.
Perbendaharaan kata (vocabulary)
-meluaskannya dengan penggunaan imbuhan yang sesuai mengikut konteksnya dalam situasi tertentu.
Kefasihan (fluency)
-menggunakan perkataan dan lain-lain dengan cara spontan tanpa memikirkan apakah maksudnya.
Kefahaman (comprehension)
-latihan memahami soalan dan memberikan jawapan yang wajar.
Teknik ini dikenali juga dengan teknik menghafaz.
Antara kelemahan tekni ini ialah ia menghadkan kebebasan berfikir dan menumpukan daya kreativiti murid.
Namun begitu, teknik ini amat berguna dan sesuai untuk isi kandungan pengajaran yang memerlukan ikutan dan ulangan.

TEKNIK SIMULASI
Simulasi ditakrifkan sebagai satu situasi yang diwujudkan hampir menyerupai keadaan sebenar yang memerlukan pelajar berinteraksi sesama sendiri berdasarkan peranan masing-masing bagi membuat keputusan menyelesaikan masalah, isu atau tugasan semula.
Melalui teknik ini para pelajar dapat menggunakan kemahiran belajar seperti mengumpulkan maklumat, menjalankan temuramah dengan individu tertentu dan mencatat isi-isi penting.
Dalam proses ini pelajar digalakan untuk memberi pendapat, cadangan, membuat keputusan dan menyelesaikan masalah berdasarkan peranan yang dipertanggungjawabkan. Memberi peluang kepada pelajar mengalami sendiri situasi dan masalah.
Melalui teknik ini pelbagai kemahiran dapat digabungjalinkan dan dipertingkatkan terutamanya dalam kemahiran lisan membaca dan menulis.
Dapat menwujudkan pelabagi aktiviti menarik yang menjadi sumber motivasi kepada pelajar untuk meneruskan proses pengajaran dan pembelajaran.

TEKNIK MAIN PERANAN
Main peranan bermaksud melakonkan sesuatu situasi atau masalah atau peristiwa yang dianggap penting.
Pelajar diberi peranan dan bertindak sebagai watak-watak yang ditentukan dalam satu situasi yang disediakan.
Main peranan ialah dramatisasi yang tiada kaitan atau penghafalan skrip, dimana pelakon-pelakon cuba menyelesaikan atau menjelaskan situasi kepada kepada pelajar-pelajar lain supaya mempraktikan kepada diri mereka berdasarkan peranan yang dimainkan secara spontan.
Proses ini biasanya dimulakan dengan pemikiran masalah yang sesuai. Masalah ini dikemukakan kepada pelajar dengan cara membacakannya atau memperlihatkannya melalui filem, televisyen, mendengar rakaman dan sebagainya.

TEKNIK SUMBANGSARAN
Teknik ini dikenali juga sebagai percambahan fikiran (brainstorming) yang merupakan satu sesi perbincangan yang membolehkan setiap ahli kumpulan menyumbangkan pendapat dan idea.
Boleh didekati sebagai aktiviti permainan bahasa pada peringkat sekolah rendah dan berkembang menjadi aktiviti perbincangan yang lebh serius dan kompleks pada peringkat sekolah menengah, universiti dan latihan profesional.
Menekankan pengeluaran idea daripada pembelajaran yang kretif dan bukan pembelajaran secara analitis.

Tujuan Sumbangsaran
Topik perbincangan sesuai dengan kebolehan dan minat murid
Garis panduan guru haruslah ringkas dan jelas
Semua cadangan dan idea yang dikemukakan haruslah dicatat untuk dibincangkan dalam sesi umum.
Setiap kumpulan mestilah memilih pengerusi yang betul-betul layak
Setiap ahli diberi peluang untuk mengemukakan cadangan
Pelajar digalakkan menyumbang seberapa banyak idea
Suasana perbincangan yang tidak formal hemdaklah diwujudkan.
Pastikan peruntukan masa untuk sesi sumbangsaran adalah patut dan mencukupi
Digalakkan menggunakan prinsip 5W ( What? Why? Who? Where? How? )
Cadangan dan idea yang dikemukakan tidak boleh dikritik
Setiap kumpulan dimestikan mempunyai ahli-ahli yang pelbagai kebolehan


TEKNIK PERMAINAN BAHASA
Permainan bahasa adalah salah satu cara dalam mempelajari bahasa melalui teknik permainan.
Penglibatan dalam permainan telah memberi peluang kepada pelajar memperolehi latihan intensif, pembelajaran bermakna dan sebagai alat dianogstik.
Kebanyakan aktiviti yang dijalankan akan menggunakan pelbagai kemahiran berbahasa pelajar antaranya kemahiran mendengar, bertutur, membaca dan menulis.
Permainan bahasa mempunyai hala tuju yang bertepatan dengan kemahuan dalam sistem pendidikan negara amnya dan Falsafah Pendidikan Negara khususnya. Hala tuju ini diinterapetasikan melalui objektif tersirat dalam permainan bahasa tersebut iaitu :
merangsang interaksi verbal pelajar
menambah kefasihan dan keyakinan
menyediakan konteks pembelajaran
bertindak sebagai alat yang dapat mengikis rasa bosan
bertindak sebagai alat pemulihan, pengukuhan dan penggayaan


TEKNIK SOAL – JAWAB
Merupakan teknik yang paling lama dan paling popular digunakan dalam bidang pendidikan
Pemilihan teknik ini bukan kerana ia mudah dilaksanakan, tetapi ia adalah bentuk yang berupaya mewujudkan interaksi guru dengan murid secara berkesan.
Teknik ini dilaksanakan dengan cara guru mengemukakan soalan-soalan yang berkaitan dengan isi pelajaran dan pelajar dikehendaki memberi tindakbalas yang sewajarnya.
Soalan-soalan yang dikemukan memerlukan pelajar berfikir disamping dapat menguji dan menilai apa yang diajar.
Tujuan utama teknik soal jawab ialah :
Untuk mengesan pengetahuan berbahasa murid
Untuk menggalakkan pelajar berfikir secara kreatif, inovatif, logik dan kritis.
Untuk mendorong pelajar menyusun dan menghuraikan bahan yang diajar.
Soalan yang terancang dan bermutu dapat membantu menajamkan pemikiran pelajar di samping dapat mewujudkan suasana pembelajaran yang lebih dinamik dan berkesan.

TEKNIK BERCERITA
Merupakan salah satu pendekatan yang sesuai digunakan untuk membina kecekapan berbahasa kerana cerita merupakan sesuatu yang dapat menarik minat dan perhatian pelajar.
Latihan pemahaman, perluasan perbendaharaan kata dan tatabahasa dapat disampaikan.
Dapat meningkatkan penguasaan kemahiran mendengar, bertutur, membaca dan menulis dikalangan pelajar.
Perkembangan cerita hendaklah diberi perhatian agar ada peringkat permulaan, kemuncak dan kesudahan cerita. Perhatian perlu diberi kepada teknik persembahan, suara, gerak laku dan kawalan mata.
Suara memainkan peranan yang penting dimana ia harus dikawal supaya jangan mendatar dan tidak menimbulkan kebosanan.
Langkah-langkah dalam persediaan teknik bercerita ialah :
Pilih cerita yang sesuai dengan umur, kecerdasan dan minat murid-murid. Kemudian, sesuaikan pula dengan isi pelajaran yang hendak disampaikan.
Kaji cerita itu dan cuba masukkan aspek-aspek bahasa.
Hafazkan frasa atau ayat-ayat penting.
Latih bercerita seolah-olah guru berada dihadapan murid-murid sekurang-kurangnya sekali sebelum menggunakan teknik ini.
Guru bercerita dalam keadaan yang selesa.
Guru boleh menggunakan gambar, objek-objek sebenar atau lain-lain BBM.
Sediakan kad-kad perkataan, frasa-frasa atau ayat-ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek bahasa yang hendak disampaikan.

TEKNIK DRAMA
Sering digunakan dalam kaedah komunikatif dan kaedah yang berasaskan pendekatan induktif iaitu kaedah terus, elektif dan audiolingual.
Tujuan utama adalah untuk melatih pelajar menggunakan unsur bahasa, unsur paralinguistik (jeda, nada dan intonasi) dan bukan linguistik (mimik muka, gerak tangan, kepala dan dll) dengan berkesan dalam sesuatu interaksi bahasa atau perbuatan.
Penggunaannya dapat mendorong dan merangsang pelajar untuk menghubungkan perasaannya dengan matapelajaran yang dipelajarinya.
Pelajar bebas meluahkan sesuatu, membuat penemuan, memberi dan berkongsi sesuatu.
Drama berperanan sebagai ragam pembelajaran iaitu sebagai salah satu alat bantu pengajaran dan pembelajaran.
Dapat menimbulkan keseronokan dan keberkesanan pembelajaran kepada pelajar, disamping dapat menyuburkan sahsiah pelajar.

TEKNIK INKUIRI
Teknik ini dikenali sebagai teknik tinjau siasat.
Merangkumi aspek-aspek soal selidik untuk mendapatkan jawapan atau kesimpulan yang berorientasikan masalah.
Dapat menimbulkan daya refleksi dikalangan pelajar.
Merupakan satu kaedah pengajaran bahasa yang dinamik untuk menimbulkan minat dan daya kreativiti di kalangan pelajar kerana pelajar sering mengemukakan soalan ‘bagaimana’. Oleh itu, ia dapat melatih pelajar mengemukakan pelbagai soalan.
Ciri lain yang terdapat dalam teknik ini termasuklah memberi latihan yang sebenar dalam proses kemahiran berfikir secara kreatif dan kritis.
Pengendalian teknik inkuiri ialah :
Proses mengenali masalah
Mengkaji ramalan
Mengumpul maklumat
Menganalisis
Membuat rumusa

TEKNIK PERBINCANGAN
Teknik perbincangan didefinisikan sebagai satu aktiviti mengeluar dan mengulas pendapat tentang sesuatu tajuk. Tujuannya untuk melatih pelajar mengeluarkan fikiran dan pendapat dengan bernas (Kementerian Pendidikan 1990:85).
Teknik perbincangan adalah satu aktiviti pengajaran dan pembelajaran berbentuk perbualan dan ia dilakukan dikalangan pelajar dibawah penyeliaan dan kawalan seorang guru.
Melibatkan aktiviti perbincangan antara pelajar secara bekerjasama dalam mengeluarkan pandangan masing-masing mengenai sesuatu perkara atau topik yang diberi. Misalnya bermesyuarat, forum, seminar, bengkel, bahas dan debat.
Dalam perbincangan ini akan memberi peluang dan ruang bagi mereka untuk bercakap terutama dalam aktiviti separa formal. Latihan sebegini bukan sahaja sekadar mempertajamkan minda malah dapat melatih kepetahan pelajar untuk bercakap dan mengeluarkan pendapat.
Peranan guru akan berubah-ubah kerana aktiviti ini dikendalikan oleh pelajar sendiri.
Teknik perbincangan boleh dijalankan mengikut langkah-langkah berikut :
Guru menarik perhatian murid kepada tajuk perbincangan yang akan dijalankan.
Guru membahagikan murid kepada beberapa kumpulan dan kemudian memilih seorang ketua yang boleh dipertanggungjawabkan untuk memastikan semua aspek perbincangan dapat dijalankan dan dicapai.
Guru kemudian menugaskan setiap kumpulan mendapatkan maklumat dengan cara berbincang dengan ahli-ahli kumpulan.
Ketika perbincangan guru harus bergerak dari satu kumpulan ke satu kumpulan yang lain, menegaskan perkara-perkara yang perlu dibincangkan dan mengarahkan perbincangan menghala kearah perkara yang betul.
Setelah tamat perbincangan guru boleh meminta laporan daripada setiap kumpulan. Hasil perbincangan boleh dicatatkan dipapan tulis mengikut mana-mana yang penting. Setelah dibincang guru bolehlah menjalankan aktiviti penulisan dan sebagainya.

TEKNIK FORUM
Forum merupakan satu sesi perbincangan yang melibatkan beberapa ahli panel untuk mencanai fikiran dan mengemukan pendapat tentang sesuatu tajuk, dimana ia dijalankan secara formal.
Teknik berforum merupakan salah satu aktiviti lisan yang sesuai, di mana pelajar akan berkongsi pengetahuan dan pengalaman secara langsung untuk meningkatkan kemahiran menyampaikan idea dan fikiran dengan jelas, objektif, kreatif dan rasional.
Untuk menjayakan aktiviti ini, tajuk forum yang dipilih haruslah mudah, menarik dan mencabar selaras dengan kemahiran, pencapaian serta peringkat umur pelajar.
Persediaan yang rapi perlu dibuat sama ada sebelum, semasa dan selepas aktiviti.
TEKNIK PERBAHASAN
Bahas ialah pengucapan sama ada menyokong atau membangkang sesuatu pendirian dengan alasan yang logik dan idea yang tersusun.
Teknik perbahasan ini sesuai diajar untuk semua peringkat pelajar di sekolah menengah.
Antara manfaat teknik ini ialah :
Memperkembangkan kecekapan berkomunikasi dengan berkesan
Melatih berfikir dengan pantas dan melahirkan buah fikiran dengan tepat dan teratur
Menguasai kemahiran berbahasa dengan menggunakan struktur ayat yang betul dan laras bahasa yang sesuai.
Mengemukakan hujah secara rasional, kritis dan kreatif.
Melatih kemahiran mendengar, menaakul, berhujah dan membidas.
Guru perlu mengambil inisiatif sendiri untuk memupuk kebolehan berbahas di kalangan pelajar.
Perkembangan kebolehan berbahas dengan sendirinya akan membawa kepada perkembangan kemahiran berbahasa, perkembangan mental yang positif, peningkatan ilmu dan pemupukan sifat-sifat kepimpinan.
TEKNIK KUIZ
Diperkenalkan pada tahun 1940 di England melalui Perbadanan Penyiaran British (B.B.C).
Aktiviti kuiz bermula di negara ini setelah dimasukkan dalam masa pembelajaran Bahasa Inggeris di sekolah-sekolah Inggeris dan diikuti di sekolah-sekolah Melayu.
Tujuannya ialah :
Guru dapat mengukuhkan pengajaran dan memantapkan pemahaman pelajar mengenai topik-topik tertentu.
Pelajar dapat mengulangkaji sambil bergembira.
Pelajar dapat melupakan permasalahan mereka dengan mengemukakan soalan-soalan secara teka-teki.
Pelajar dapat belajar kaedah cara berfikir yang baru.
Membantu pelajar memahami sistem Bahasa Melayu terutama dari segi bentuk, makna dan penggunaan bahasa yang tepat.
Terdapat 2 bentuk pengajaran dan pembelajaran bahasa melalui teknik ini iaitu :
Ia dijalankan secara spontan pada peringkat permulaan, perkembangan dan penutup. Ini bermakna kuiz dapat dijadikan sebagai aktiviti rangsangan, penggayaan, pemulihan dan pengukuhan.
Kuiz sebagai aktiviti pertandingan meliputi pertandingan antara pelajar.

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
A. Pengantar
Banyak Negara mengakui bahwa pendidikan merupakan tugas Negara yang amat penting. Bangsa yan ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia, tentu sepakat bahwa pendidikan meruakan kunci, dan tanpa kunci itu usaha itu akan gagal.
Asumsi-asumsi yang melandasi program-program pendidikan sering kali tidak sejalan dengan hakekat belajar, dan hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan , lebih khusus lagi dunia belajar, didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif. Praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan teoritik dan konseptual yang tidak akurat. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya mengagungkan pada pembentukan perilaku keseragaman, dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan dan kepastian (Degeng, 2000).
Sistem pendidikan yang dianut bukan lagi suatu upaya pencerdasan kehidupan bangsa agar mampu mengenal realitas diri dan dunianya, melainkan suatu upaya pembuatan kesadaran yang disengaja dan terenana (Berybe,2001) yang menutup proses perubahan dan perkembangan. Kita perlu melakukan kaji ulang, atau dengan ungkapan yang lebih memasyarakatkan kita perlu melakukan reformasi, redifinisi dan reorientasi bahkan revolusi terhadap landasan teoritik da konseptual belajar dan pembelajaran.
Peserta didik adalah manusia yang identitas insaninya sebagai subyek berkesadaran perlu dibela dan ditegakkan lewat sistemdan model pendidikan yang bersifat ”bebas dan egaliter”. Hal ini hanya dapat dicapai lewat proses pendidikan bebas dan metode pembelajaran aksi dialogal. Untuk mengembangka agar manusia menjadi matang tidak cukup hanya dilatih, tetapi juga harus dididik. Siswa harus dididik untuk realis, mengakui kehidupan yang multi-dimensional, tidak seragam, dan diajak menghayati kebinekaan yang saling melengkapi. Mendidik bukan berarti sekedar menjadikan anak trampil secara praktis terhadap lingkungan. Medidik juga berarti membantu anak untuk menjadi dirinya dan peka terhadap lingkungannya.
Banyaknya aturan yangseringkali muncul dalam pembelajaran, akan menyebabkan anak selalu diliputi rasa takut. Lebih jauh, anak akan kehilangan kebebasan berbuat dan melakukan kontrol diri. Akibat yang timbul dari penekanan kebebasan, anak akan mengembagkan pertahanan diri (defence mechanism), sehingga yang dipelajari bukanlah pesan-pesan pembelajaran, melainkan cara-cara untuk mempertahankan diri mengatasi rasa takut. Anak-anak demikian tidak akan mengalami growth in learning. Disamping kebebasan, hal yan penting pelu ada dalam lingkungan belajar yang demokratis adalah realness. Sadar bahwa anak mempunyai kekuatan disamping kelemahan.
Para pendidik dan para peracang pendidikan serta pengembang program-program pembelajaran perlu menyadariakan pentingnya pemahaman terhadap hakikat belajar dan pembelajaran. Berbagai teori belajar dan pembelajaran seperti teori behavioristik, kognitif, kondtruktivistik, humanistik, sibernetik, revolusi-sosiokultural, dan kecerdasan ganda, penting untuk dimengerti dan diterapkan sesuai dengan kondisi dan konteks pembelajaran yang dihadapi.
Banyak teori belajar dan pembelajaran yang dapat direkomendasikan dan digunakan dalam proses belajar dan pembelajaran, meliputi antara lain:
A. Teori Deskriptif dan Teori preskriptif
Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskriptif dan teori belajar adalah deskriftif. Preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, dan deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah memberikan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan di antara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau bagaimana seseorang belajar. Teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar, atau upaya mengontrol variabel-variabel yang dispesifikasikan dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
I Teori pembelajaran yang deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajaran sebagai given, dan memberikan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati. Atau kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel yang tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai given, dan metode yang optimal ditempatkan sebagai variabel yang diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel yang tergantung.
Teori preskriptif adalah good oriented (untuk mencapai tujuan), sedangkan teori deskriptif adalah good free (untuk memberikan hasil).Variabel yang diamati dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran deskriptif variabel yang diamati adalah hasil sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi.

B. Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Teori belajar behavioristik mengemukakan, bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.
Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement), maka respons akan semakin kuat. Demikian juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement), maka respons juga akan menguat.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktifitas ”mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagain-bagian ke keseluruhan pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban benarf menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaakan tugas belajarnya.

C. Teori Belajar Kognitif dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaftasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Piaget mengemukakan, bahwa kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola dan tahap-tahap perkembangan tertent dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Sedangkan Ausubel mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang t lah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Pebedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sanga mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

D. Teori Belajar Konstruktivistik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggung jawab dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan konstruktivisme, bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asmilasi dan akomodasi akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristik pembelajaran yan dilakukannya adalah:
a. membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan , dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
b. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide terdebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
c. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interprestasi.masuk
d. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilainnya merupakan suatu usaha yang kompleks, suka dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

E. Teori Belajar Humanistik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Teori humanistik mengemukakan, bahwa tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri atau siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu sangat perlu diperhatikan bagaimana perekmbangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran, karena seseorang akan dapat bealajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuan.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar eksperensial (experiential learning).
Dalam prakteknya teori humanistik cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, langkah-langkah pembelajaran yang hampir mangacu pada teori ini (Suciati dan Prasetya Irawan, 20010, meliputi sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
b. Menentukan materi pelajaran
c. Mengidetifikasi kemampuan awal (entry behavior)siswa
d. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
e. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
f. Membimbing siswa belajar secara aktif.
g. Membimbing siswa untuk memeahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
h. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
i. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
j. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

F. Teori Belajar Sibernetik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Teori belajar pengolahan informasi termasuk dalam lingkup teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi yang tidak dapat diamati secara lansung dan merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Namun memori kerja manusia mempunyai kapasitas yang terbatas. Menuru gagne, untuk mengurangi muatan memori kerja bentuk pengetahuan yang dipelajari dapat berupa; proporsi, prosuduksi, dan mental images. Teori Gagne dan Briggs mempreskripsikan adanya : (1) kapabilitas belajar, (2) Peristiwa pembelajaran, (3) pengorganisasian/urutan pemelajaran. Kapabiltas belajar kaitannya dengan unjuk kerja dirumuskan oleh Gagne sebagai berikut (Degeng, 1989).
No
Kapabilitas Belajar
Unjuk Kerja
1
Informasi verbal
Menyatakan informasi
2
Keterampilan Proses
Menggunakan simbol untuk berinteraksi dengan lingkungannya

- Diskriminasi
Membedakan perangsang yang memiliki dimensi fisik yang berlainan

- Konsep Konkrit
Mengidentifikasi contoh-contoh konkrit

- Konsep Abstrak
Mengklasifikasi contoh-contoh dengan menggunakan ungkapan verbal atau definisi.

- Kaidah
Menunjukkan aplikasi suatu kaidah

- Kaidah tingkat lebih tinggi
Mengembangkan kaidah baru untuk memecahkan masalah
3
Strategi Kognitif
Mengembangkan cara-cara baru untuk memecahkan masalah. Menggunakan berbagai cara untuk mengontrol proses belajar mengajar dan atau berpikir
4
Keterampilan motorik
Melakukan gerakan tubuh yang luwes, cekatan, serta denga urutan yang benar.

Teori belajar pemerosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Tahapan-tahapan ini dapat dimudahkan dengan menggunakan metode pembelajaran yang mengikuti urutan tertentu sebagai peristiwa pembelajaran (the evens if instruction), yang mempreskripsikan kondisi belajar internal dan eksternal utama untuk kapabilitas apapaun. Sebilan tahapan dalam peristiwa pembelajaran yang diasumsikan sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan belajar adalah:
1. Menarik perhatian
2. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa
3. Merangsang ingatan pada prsyarat belajar
4. Menyajikan bahan perangsang
5. Memebrikan bimbingan belajar
6. Mendorong unjuk kerja
7. Memberikan balikan informatif
8. Menilai unjuk kerja
9. Meningkatkan retensi dan alih belajar
Dalam mengorganisasikan pembelajaran perlu dipwertimbangkan ada tidaknya prasyarat belajar untuk suatu kapabilitas, apakah siswa telah memiliki prasyarat belajar yang diperlukan. Ada prasyarat belajar utama, yang harus dikuasi siswa, dan ada prsyarat belajar pendukung yan dapat memudahkan belajar. Pengorganisasian pembelajaran untuk kapabilitas belajar tertentu dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengorganisasian pembelajaran ranah keterampilan intelektual.
Menurut Gagne, prasyarat belajar utama dan keterkaitan satu dengan lainnya digambarkan dalam hirarki belajar. Reigeluth membedakan struktur belajar sebagai keterempilan yang lebih tinggi letaknya di atas, sedangkan keterampilan tingkat yang lebih rendah ada di bawahnya.
2. Pengorganisasian pembelajaran ranah informasi verbal
Kemampuan ini menghendaki siswa untuk dapat mengintegrasikan fakta-fakta ke dalam kerangka yang bermakna baginya.
3. Pengorganisasian pembelajaran ranah strategi kognitif
Kemampuan ini banyak memerlukan prasyarat keterampilan intelktual, maka perlu memasukkan keterampilan-keterampilan intelektual dan informasi cara-cara memecahkan masalah.
4. Pengorganisasian pembelajaran ranah sikap
Kemampuan ini memerlukan prasyarat sejumlah informasi tentang pilihan-pilihan tindakan yang tepat untuk situasi tertentu, juga strategi kognitif yang dapat membantu memecahkan konflik-konflik nilai pada tahap pilihan.
5. Pengorganisasian pembelajaran ranah keterampilan motorik
Untuk menguasai keterampilan motorik perlu dimulai dengan mengajarkan kaidah mengenai urutan yang harus diikuti dalam melakukan untuk kerja keterampilan yang dipelajari. Diperlukan latihan-latihan mulai dari mengajarkan bagian-bagian keterampilan secara terpisah-pisah kemudian melatihkannya ke dalam kesatuan keterampilan.
Keunggulan strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemerosesan informasi adalah:
Cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.
Penyajian pengetahuan emmenuhi aspek ekonomis
Kapabilitas belajar dapat disajikan lebihlengkap
Adanyaketerarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingij dicapai
Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.
Kontrol belajar (content control, pace control, display control, dan conscious control) memungkinkan belajar sesuai dengan irama masing-masing individu (prinsif perbedaan individu terlayani).
Balikan informative memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Dengan demikian aplikasi teoeri sibernetik dalam kegiatan pembelajarn yang dikemukan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) baik diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
Menentukan materi pembelajaran
Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi pembelajarn
Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi tersebut (apakah algoritmik atau heuristik).
Menyusun materi pelajaran dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasinya.
Menyesuaikan materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran.

G. Teori Belajar Revolusi-Sosiokultural dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Gagasan Vygotsky mengenai reconstruction of knowledge in socialo setting bila diterpakan dalam konteks pembelajaran, guru perlu memperhatikan hal-hal berikut:
Pada setiap perencanaan dan implementasi guru harus dipusatkan kepada kelompok anak yang tidak dapat memecahkan masalah belajar sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat solve problem with help.
Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps) yang dapat mempasilitasi anak agar mereka dapat emmecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dalam kosa kata Psikologi Kognitif, bantuan-bantuan ini dikenal sebagai cognitive scaffolding. Bantuan-bantuan tersebut dapat dalam bentuk pemberian contoh-contoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur., langkah-langkah atau procedur melakukan tugas, pemberian balikan.
Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas belajar. Bantuan-bantuan tersebut tentunya harus sesuai dengan konteks sosio-kultural atau karakteristik anak. Bantuan dari orang dewasa atau teman, akan bermanfaat untuk memahami alat-alat semiotik, seperti bahasa, tanda, dan lambang-lambang. Anak mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Maka bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif, serta pembelajaran kontekstual sangat tepat diterapkan.
Kelompok anak yang cannot solve problem meskipun telah diberikan berbagai bantuan, perlu diturunkan ke eklompok yang lebih rendah kesiapan belajarnya sehingga setelah diturunkan, mereka juga berada pada zone of proximal develoopment nya sendiri, dan oleh karena itu, siap memanfaatkan bantuan atau scaffolding yang disediakan. Sedangkan kelompok yang telah mampu solve problems independently harus ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu buang-buang waktu dengan tagihan belajar yang sama bagi kelompok anak yang ada dibawahnya.
Dengan pengkonsepsian kesiapan eblajar demikian, maka pemahaman tentang karakteristik siswa yang berhubungan dengan sosio-kultrural dan kemampuan awalnya sebagai pijakan dalam pembelajaran perlu lebih dicermati artikulasinya, sehingga dapat dihasilkan perangkat lunak pembelajaran yang benar-benar menantang namun tetap produktif dan kreatif.

H. Teori Kecerdasan Ganda dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Kecerdasan ganda sebenarnya merupakan teori yang bersifat filosofis. Pendidikan/pembelajaran ditinjau dari sudut pandang kecerdasan ganda lebih mengarah kepada hakekat dari pendidikan itu sendiri, yaitu yang secraa leangsung berhubungan dengan eksistensi, kebenaran, dan pengetahuan. Gambaranya tentang pendidikan diwarnai oleh Dewey yang mendasarkan diri pada pendidikan yang besifat progresif.
Katagori-katagori yang banyak digunakan orang selama ini adalah katagori musik, pengamatan ruang, dan body-kinestetik (Amstrong,1994). Adalah hal yang baru ketika Gardner memasukkan kategori-kategori itu semua ke dalam pengertian kecerdasan. Gardner mengidentifikasi ada 8 macam kecerdasan manusia dalam memahami dunia nyata, selanjutnya teori ini di perkuat oleh para tokoh sehiingga ada 10 kecerdasan, antara lain:
Kecerdasan verbal/bahasa (verbal linguistic intellegence)
Kecerdasan logika/matematik (logical/matematical intelegence)
Kecerdasan visual/ruang (visual/spatiak intellegence)
Kecerdasan tubuh/gerak tubuh (body/kinesthetic intellegence)
Kecerdasan musical/ritmik (musical/rhythmic intelligence)
Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)
Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence)
Kecerdasan spiritual (spiritualist intelligence)
Kecerdasan eksistensial (exsistensialist intelligence)
Strategi dasar dalam kegiatan belajar untuk mengembangkan kecerdasan ganda adalah sebagai berikut:
1. Awakening intellegence (Activating the senses and turning on the brain). Membangunkan/memicu kecerdasan, yaitu upaya untuk mengaktifkan indera dan menghidupkan kerja otak.
2. Amplifying intelligence (Exercise & strengthening awakened capacities). Memperkuat kecerdasan, yaitu dengan cara memberi latihan dan memperkuat kemampuan membangunkan kecerdasan.
3. Teaching for/with intelligence (structuring lessons for multiple intelligence). Mengajarkan dengan/untuk kecerdasan, yaitu upaya-upaya mengembangkan struktur pelajaran yang mengacu pada penggunaan kecerdasan ganda.
4. Transferring inelligences (Multiple ways of knowing beyond the classroom). Mentransfer kecerdasan, yaitu usaha untuk memenfaatkan berbagai cara yang telah dilatihkan di kelas untuk memahami realitas di luar atau pada lingkungan nyata.
Garder juga merancang dasar-dasar “tes” tertentu, di mana setiap kecerdasan hanya dipetimbangkan sebagai intelegensi yang terlatih dan memiliki banyak pengalaman, yang tidak disebut sebagai talenta atau bakat. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam teori kecerdasan ganda, yaitu: (1) setiap orang memiliki semua kecerdasan-kecerdasan itu; (2) Banyak orang dapat mengembangkan masing-masing kecerdasan sampai ke tingkat yang optimal; (3) Kecerdasan biasanya bekerja bersama-sama dengan cara yang unik; (4) ada banyak cara untuk menjadi cerdas.
Pengalaman-pengalaman menyenangkan ketika belajar akan menjadi aktivator bagi perkembangan kecerdasan pada tahap perkembangan berikutnya. Sedangkan pengalama-pengalaman yang menakutkan, memalukan, menyebabkan marah, dan emosi negatif lainya akan menghambat kecerdasan pada tahapp berikutnya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat digunakan

Anotasi

Definitions of citizenship W. Kymlicka, W. Norman Return to the Citizen: A Survey of Recent Work on Citizenship Theory. In: R. Be...